Suku
Batak
Batak merupakan salah satu suku bangsa
di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan
beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur,
di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak
Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak
Mandailing.
Saat ini pada
umumnya orang Batak menganut agama Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan Islam
Sunni. Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan tadisional yakni: tradisi Malim
dan juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu),
walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.
Sejarah
Orang Batak
adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak diketahui kapan nenek moyang
orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan
bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah
berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu di
zaman batu muda (Neolitikum). Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum
(Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek
moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara di zaman logam.
Pada abad
ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di
pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh
petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi
sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad
ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya
pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumater.
Pada
masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang
Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara.
Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal. Batak
merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema
kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan
berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang
dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak
Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.
Mayoritas
orang Batak menganut agama Kristen dan sisanya beragama Islam. Tetapi ada pula
yang menganut agama Malim dan juga menganut kepercayaan animisme (disebut
Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah
semakin berkurang.
Identitas Batak
R.W Liddle
mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatra bagian utara tidak terdapat
kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya sampai abad
ke-19, interaksi sosial di daerah itu hanya terbatas pada hubungan antar
individu, antar kelompok kekerabatan, atau antar kampung. Dan hampir tidak ada
kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-satuan sosial dan politik yang lebih
besar. Pendapat lain mengemukakan, bahwa
munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada
zaman kolonial.
Dalam
disertasinya J. Pardede mengemukakan bahwa istilah "Tanah Batak" dan
"rakyat Batak" diciptakan oleh pihak asing. Sebaliknya, Siti Omas
Manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa sebelum
kedatangan Belanda, semua orang baik Karo maupun Simalungun mengakui dirinya
sebagai Batak, dan Belandalah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok
tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa Pusuk
Buhit, salah satu puncak di barat Danau Toba, adalah tempat
"kelahiran" bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut juga
menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir.
Terbentuknya
masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan
karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra. Penelitian
penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra
lisan dan transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka
Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren
dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur
pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang
diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai
barat, lari ke pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang
datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus.
Penyebaran agama
Kabupaten-kabupaten
di Sumatera Utara yang diwarnai, memiliki mayoritas penduduk Batak.
Masuknya Islam
Dalam
kunjungannya pada tahun 1292, Marco Polo melaporkan bahwa masyarakat Batak
sebagai orang-orang "liar" dan tidak pernah terpengaruh oleh
agama-agama dari luar. Meskipun Ibn Battuta, mengunjungi Sumatera Utara pada
tahun 1345 dan mengislamkan Sultan Al-Malik Al-Dhahir, masyarakat Batak tidak
pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh pedagang Minangkabau. Bersamaan
dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang melakukan kawin-mawin
dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatakan pemeluk
Islam di tengah-tengah masyarakat Batak. Pada masa Perang Paderi di awal abad
ke-19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman
besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan Angkola.
Namun
penyerangan Pederi atas wilayah Toba, tidak dapat mengislamkan masyarakat
tersebut, yang pada akhirnya mereka menganut agama Kristen Protestan dan Kristen
Katolik. Kerajaan Aceh di utara, juga
banyak berperan dalam mengislamkan masyarakat Karo dan Pakpak. Sementara
Simalungun banyak terkena pengaruh Islam dari masyarakat Melayu di pesisir
Sumatera Timur
Misionaris Kristen
Pada tahun
1824, dua misionaris Baptist asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward
berjalan kaki dari Sibolga menuju pedalaman Batak. Setelah tiga hari berjalan,
mereka sampai di dataran tinggi Silindung dan menetap selama dua minggu di pedalaman. Dari
penjelajahan ini, mereka melakukan observasi dan pengamatan langsung atas
kehidupan masyarakat Batak. Pada tahun 1834, kegiatan ini diikuti oleh Henry
Lyman dan Samuel Munson dari Dewan Komisaris Amerika untuk Misi Luar Negeri.
Pada tahun
1850, Dewan Injil Belanda
menugaskan Herman Neubronner van der Tuuk
untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak - Belanda. Hal ini
bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen Belanda dan Jerman
berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran
pengkristenan mereka. Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar
Danau Toba pada tahun 1861, dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun
1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk pertama
kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan
penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada tahun
1891.
Teks
terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun 1893. Menurut
H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh
dalam bahasa Batak. Selanjutnya Misi
Katolik di Tanah Batak terhitung sejak Pastor Misionaris pertama yakni Pastor
Sybrandus van Rossum, OFM.Cap masuk ke jantung Tanah Batak, yakni Balige
tanggal 5 Desember 1934.
Masyarakat
Toba dan sebagian Karo menyerap agama Kristen dengan cepat, dan pada awal abad
ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya. Pada masa
ini merupakan periode kebangkitan kolonialisme Hindia-Belanda, dimana banyak
orang Batak sudah tidak melakukan perlawanan lagi dengan pemerintahan kolonial.
Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir
pada tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik mereka, Sisingamangaraja XII
wafat.
Gereja HKBP
Gereja Huria
Kristen Batak Protestan (HKBP) telah berdiri di Balige pada bulan September
1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah perawat memberikan pelatihan
perawatan kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun 1941, Gereja Batak
Karo Protestan (GBKP) didirikan.
Gereja Katolik di Tanah Batak
Misi Katolik
masuk ke Tanah Batak setelah Zending Protestan berada di sana selama 73 tahun.
Daerah-daerah yang padat penduduknya serta daerah-daerah yang subur sudah
menjadi “milik” Protestan. Menurut Sybrandus van Rossum dalam tulisannya
berjudul “Matahari Terbit di Balige” bahwa pada tahun 1935 orang Batak yang
sudah dibaptis di Protestan mencapai lebih kurang 450.000 orang. Lembaga
pendidikan dan kesehatan sudah berada di tangan Zending. Zending juga sudah
mempunyai kader-kader yang tangguh baik dalam masyarakat maupun dalam
pemerintahan. Dalam situasi seperti itulah Misi Katolik masuk ke Tanah Batak.
Kepercayaan
Sebelum suku
Batak Toba menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem
kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas
langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.
Menyangkut
jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga konsep, yaitu:
- Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
- Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
- Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Demikianlah
religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah
menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum mau
meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari
mereka.
Salam Khas Batak
Tiap puak
Batak memiliki salam khasnya masing masing. Meskipun suku Batak terkenal dengan
salam Horasnya, namun masih ada dua salam lagi yang kurang populer di
masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih memiliki
penyebutan masing masing berdasarkan puak yang menggunakannya
1. Pakpak
“Njuah-juah Mo Banta Karina!”
2. Karo
“Mejuah-juah Kita Krina!”
3. Toba
“Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”
4.
Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”
5.
Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua
Bulung!”
Kekerabatan
Kekerabatan
adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua
bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan
(genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak
ada. Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari
silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak
memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui
perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan.
Dalam
tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga,
kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap
vs Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis
yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap
perbedaan corak tradisi antar daerah. Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam
bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan
parhundul. merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan
baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat.
amun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari
adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan
dalam pelaksanaan Adat.
Falsafah dan sistem kemasyarakatan
Masyarakat
Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam
kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Berikut penyebutan
Dalihan Natolu menurut keenam puak Batak
1. Dalihan
Na Tolu (Toba) • Somba Marhula-hula • Manat Mardongan Tubu • Elek Marboru
2. Dalian Na
Tolu (Mandailing dan Angkola) • Hormat Marmora • Manat Markahanggi • Elek
Maranak Boru
3. Tolu
Sahundulan (Simalungun) • Martondong Ningon Hormat, Sombah • Marsanina Ningon
Pakkei, Manat • Marboru Ningon Elek, Pakkei
4. Rakut
Sitelu (Karo) • Nembah Man Kalimbubu • Mehamat Man Sembuyak • Nami-nami Man
Anak Beru
5. Daliken
Sitelu (Pakpak) • Sembah Merkula-kula • Manat Merdengan Tubuh • Elek Marberru
- Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
- Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.
- Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.
Namun bukan
berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na
Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak
pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru.
Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.
Sehingga
dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam
tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang
berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka
dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja no Dongan
Tubu dan Raja ni Boru.
Ritual kanibalisme
Pejuang
Batak
Ritual
kanibalisme telah terdokumentasi dengan baik di kalangan orang Batak, yang
bertujuan untuk memperkuat tondi pemakan itu. Secara khusus, darah,
jantung, telapak tangan, dan telapak kaki dianggap sebagai kaya tondi. Dalam
memoir Marco Polo yang sempat datang berekspedisi dipesisir timur Sumatera dari
bulan April sampai September 1292, ia menyebutkan bahwa ia berjumpa dengan
orang yang menceritakan akan adanya masyarakyat pedalaman yang disebut sebagai
"pemakan manusia".
Dari
sumber-sumber sekunder, Marco Polo mencatat cerita tentang ritual kanibalisme
di antara masyarakat "Battas". Walau Marco Polo hanya tinggal di
wilayah pesisir, dan tidak pernah pergi langsung ke pedalaman untuk
memverifikasi cerita tersebut, namun dia bisa menceritakan ritual tersebut. Niccolò
Da Conti (1395-1469), seorang Venesia yang menghabiskan sebagian besar tahun
1421 di Sumatra, dalam perjalanan panjangnya untuk misi perdagangan di Asia
Tenggara (1414-1439), mencatat kehidupan masyarakat.
Dia menulis
sebuah deskripsi singkat tentang penduduk Batak: "Dalam bagian pulau,
disebut Batech kanibal hidup berperang terus-menerus kepada tetangga mereka
". Thomas Stamford Raffles pada 1820 mempelajari Batak dan ritual mereka,
serta undang-undang mengenai konsumsi daging manusia, menulis secara detail
tentang pelanggaran yang dibenarkan. Raffles menyatakan bahwa: "Suatu hal yang
biasa dimana orang-orang memakan orang tua mereka ketika terlalu tua untuk
bekerja, dan untuk kejahatan tertentu penjahat akan dimakan hidup-hidup"..
"daging dimakan mentah atau dipanggang, dengan kapur, garam dan sedikit
nasi".
Para dokter
Jerman dan ahli geografi Franz Wilhelm Junghuhn, mengunjungi tanah Batak pada
tahun 1840-1841. Junghuhn mengatakan tentang ritual kanibalisme di antara orang
Batak (yang ia sebut "Battaer"). Junghuhn menceritakan bagaimana
setelah penerbangan berbahaya dan lapar, ia tiba di sebuah desa yang ramah.
Makanan yang ditawarkan oleh tuan rumahnya adalah daging dari dua tahanan yang
telah disembelih sehari sebelumnya. Namun hal ini terkadang dibesar-besarkan
dengan maksud menakut-nakuti orang/pihak yang bermaksud menjajah dan/atau
sesekali agar mendapatkan pekerjaan yang dibayar baik sebagai tukang pundak
bagi pedagang maupun sebagai tentara bayaran bagi suku-suku pesisir yang
diganggu oleh bajak laut.
Oscar von
Kessel mengunjungi Silindung di tahun 1840-an, dan pada tahun 1844 mungkin
orang Eropa pertama yang mengamati ritual kanibalisme Batak di mana suatu
pezina dihukum dan dimakan hidup. Menariknya, terdapat deskripsi paralel dari
Marsden untuk beberapa hal penting, von Kessel menyatakan bahwa kanibalisme
dianggap oleh orang Batak sebagai perbuatan berdasarkan hukum dan aplikasinya
dibatasi untuk pelanggaran yang sangat sempit yakni pencurian, perzinaan,
mata-mata, atau pengkhianatan.
Garam, cabe
merah, dan lemon harus diberikan oleh keluarga korban sebagai tanda bahwa
mereka menerima putusan masyarakat dan tidak memikirkan balas dendam. Ida
Pfeiffer mengunjungi Batak pada bulan Agustus 1852, dan meskipun dia tidak mengamati
kanibalisme apapun, dia diberitahu bahwa: "Tahanan perang diikat pada
sebuah pohon dan dipenggal sekaligus, tetapi darah secara hati-hati diawetkan
untuk minuman, dan kadang-kadang dibuat menjadi semacam puding dengan nasi.
Tubuh
kemudian didistribusikan; telinga, hidung, dan telapak kaki adalah milik
eksklusif raja, selain klaim atas sebagian lainnya. Telapak tangan, telapak
kaki, daging kepala, jantung, serta hati, dibuat menjadi hidangan khas. Daging
pada umumnya dipanggang serta dimakan dengan garam. Para perempuan tidak
diizinkan untuk mengambil bagian dalam makan malam publik besar ".
Pada 1890,
pemerintah kolonial Belanda melarang kanibalisme di wilayah kendali mereka. Rumor kanibalisme Batak bertahan hingga awal
abad ke-20, dan nampaknya kemungkinan bahwa adat tersebut telah jarang
dilakukan sejak tahun 1816. Hal ini dikarenakan besarnya pengaruh agama
pendatang dalam masyarakat Batak.
Tarombo
Silsilah
atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi
mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak
kesasar (nalilu). Orang Batak diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal
nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu).
Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna)
dalam suatu klan atau marga.
Kontroversi
Sebagian
orang Karo, Angkola, dan Mandailing tidak menyebut dirinya sebagai bagian dari
suku Batak. Wacana itu muncul disebabkan karena pada umumnya kategori
"Batak" dipandang rendah oleh bangsa-bangsa lain. Selain itu,
perbedaan agama juga menyebabkan sebagian orang Tapanuli tidak ingin disebut
sebagai Batak. Di pesisir timur laut Sumatera, khususnya di Kota Medan,
perpecahan ini sangat terasa. Terutama dalam hal pemilihan pemimpin politik dan
perebutan sumber-sumber ekonomi.
Sumber
lainnya menyatakan kata Batak ini berasal dari rencana Gubernur Jenderal
Raffles yang membuat etnik Kristen yang berada antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan
Islam Minangkabau, di wilayah Barus Pedalaman, yang dinamakan Batak.
Generalisasi kata Batak terhadap etnik Mandailing (Angkola) dan Karo, umumnya
tak dapat diterima oleh keturunan asli wilayah itu. Demikian juga di Angkola,
yang terdapat banyak pengungsi muslim yang berasal dari wilayah sekitar Danau
Toba dan Samosir, akibat pelaksanaan dari pembuatan afdeeling Bataklanden oleh
pemerintah Hindia Belanda, yang melarang penduduk muslim bermukim di wilayah
tersebut.
Konflik
terbesar adalah pertentangan antara masyarakat bagian utara Tapanuli dengan
selatan Tapanuli, mengenai identitas Batak dan Mandailing. Bagian utara
menuntut identitas Batak untuk sebagain besar penduduk Tapanuli, bahkan juga
wilayah-wilayah di luarnya. Sedangkan bagian selatan menolak identitas Batak,
dengan bertumpu pada unsur-unsur budaya dan sumber-sumber dari Barat. Penolakan
masyarakat Mandailing yang tidak ingin disebut sebagai bagian dari etnis Batak,
sempat mencuat ke permukaan dalam Kasus Syarikat Tapanuli (1919-1922), Kasus
Pekuburan Sungai Mati (1922), dan Kasus Pembentukan Propinsi Tapanuli
(2008-2009).
Dalam sensus
penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan Simalungun, Karo,
Toba, Mandailing, Pakpak dan Angkola sebagai etnis Batak.